Sabtu, 23 Maret 2013

Hikayat Kisah Masker Kehidupan (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Rabu, 20 Maret 2013)

Judul: Masque of the Red Death
Penulis: Bethany Griffin
Penerjemah: Yudith Listiandri
Penerbit: Mizan Fantasi (Bentang Pustaka)
Terbit: Januari 2013
Tebal: 400 halaman
Harga: Rp 54.000
ISBN: 978-979-433-757-8

Masque of the Red Death merupakan karya fiksi yang berusaha menggabungkan antara dua kekuatan: klasik dan modern. Bethany Griffin berhasil menyajikan karya langka dengan modal ikhtiarnya dalam merangkai imajinasi serta capaian intuisi yang asyik dan menghentak. Novel fantasi ini tidak terjebak pada problematika dan idiom-idiom klise yang ditawarkan oleh karya-karya serupa. Dia mengajak pembaca untuk bersama-sama mengatasi persoalan yang membelit tokoh utama tanpa menggurui. 
Novel terinspirasi Edgar Allan Poe dalam The Masque of the Red Death. Guna mengekalkan kecintaan penulis terhadap kebesaran pengarang favoritnya itu, maka judul novelnya pun dibuat hampir mirip dengan pendahulunya dengan menghilangkan the di depannya. Jadilah Masque of the Red Death.
Kisahnya dibuka dengan peristiwa mengejutkan. Berawal dari wabah yang menyebabkan banyak kematian, maka diciptakanlah masker (topeng), untuk menyelamatkan masyarakat. Sayangnya, penutup muka berbahan keramik ini harganya selangit, sehingga yang dapat membeli hanya orang kayat. Masyarakat miskin tak mungkin memilikinya.
Dengan kondisi demikian, lahirlah ketimpangan-ketimpangan sosial. Para pemakai masker bisa menjalankan aktifitas sesuka hati. Mereka yang tidak mengenakannya hanya mampu mengurung diri di rumah, demi menghindari wabah.
Mahalnya harga masker menimbulkan banyak protes dari orang-orang miskin. Mereka menginginkan agar nilai nominal pelindung lubang hidung dan mulut tersebut diturunkan. Dr. Worth, perancangnya, terkena imbas. Dia dianggap telah melakukan konspirasi, sehingga hanya orang-orang kayalah yang leluasa berkeliaran ke sana kemari tanpa ada kekhawatiran sedikit pun.
Padahal, dengan merancang alat penyaring virus berbahaya tersebut, Woth ingin mengabdikan diri untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia. Tingginya harga masker di luar tanggung jawabnya. Pemilik pabrik pembuat maskerlah penentunya.  
Novel dibagi ke dalam 27 babak dengan tokoh utama Araby. Gadis yang setiap hari bermukim di katedral dengan pengawalan ketat tersebut berduka dan kerap bertanya dalam hati, mengapa ayahnya, Worth, menanggung beban berat dalam hidupnya. Padahal, seharusnya atas jasa-jasanya, dia memetik penghargaan dan sanjungan. Bukannya malah dicacimaki.
Problem-problem psikologis menghinggapi Araby. Dia begitu tertekan karena ingatan tentang kematian Finn, kakaknya. Tambah lagi dengan bayangan penderitaan anak-anak kecil yang sangat rentan tertular penyakit mematikan. Kepedulian terhadap mereka yang didera musibah, di antaranya dibuktikan dengan memberikan masker kepada Henry, bocah yatim piatu yang tidak bersekolah hanya gara-gara tak punya masker. Dengan rela hati, Araby berkata kepada kakak bocah kecil tersebut, “aku punya sebuah masker untuk Henry, aku membawakannya untukmu.” (hal. 245)
Berlawanan dengan suara nurani Araby, tokoh kaya raya Prince Prospero malah memanfaatkan situasi. Bermodal kekuatan dan kekayaan, dia berupaya menguasai keadaan dengan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya untuk diperalat. Dia ingin Woth bergabung dengannya. Tetapi, Woth memilih selalu menjauhkan diri dari jangkauan Prospero. Woth lalu tinggal di sebuah tempat dan melakukan berbagai eksperimen.
Guna mengurangi beban penderitaan orang-orang kurang beruntung, suatu hari Araby nekat mencuri rancangan dan sketsa yang dibuat oleh ayahnya lalu menyerahkannya kepada Elliot, yang menabung hasrat mendirikan pabrik pembuatan masker, tapi tak berhasil.
Novel yang lahir setelah penulisnya merampungkan karya Handcuffs ini kian menarik dengan persoalan cinta yang dihadapi Araby. Dia sangat terpesona dengan William, tapi juga tertarik pada Elliot. Sialnya, bukannya memetik balasan terhadap kebaikan-kebaikan yang ditunaikan, dia malah mendapat pengkhianatan. Tanpa rasa menyesal, William menyerahkan Araby kepada mereka yang membenci Dr. Woth, dengan berkata, “aku membawanya ke sini, seperti yang pernah kujanjikan.” (hal. 337)
Di akhir kisah, Araby mampu melepaskan diri dari bermacam-macam jeratan. Menaiki kapal bersama Elliot, dia meninggalkan kota yang penuh virus, demi menemui kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Dia tahu, dengan pilihan tersebut, kesempatan untuk bersua kembali dengan ibu dan ayahnya sangatlah kecil. 

Yogyakarta, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar