Senin, 25 Maret 2013

Bokong (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Bali Post” edisi Minggu, 24 Maret 2013)


Kembali aku disergap gamang, akankah aku memakai bokong yang baru saja dibelikan suami atau membiarkannya di atas ranjang. Ah, suamiku memang tipe orang yang up to date, tak mau ketinggalan zaman, sehingga aku diajaknya untuk selalu mengikuti trend yang sedang booming.
Terus terang, bokong yang sedang kupakai ini tidak jelek-jelek amat. Justru para tetangga dan ibu-ibu yang rutin kuajak merumpi terkagum-kagum dengan penampilanku beberapa hari lalu. Saking kagumnya, mereka menanyakan di mana aku mengecer bokong yang aduhai, berisi, dan ringan memancing para kaum adam untuk berlama-lama memelototi. Aku pun menanggapi sekenanya, “wah, cuma di pasar loak kok.” Mereka semua tertawa saat memungut jawabanku.
Hening. Kulihat bokong semok itu teronggok seperti sampah. Usai menyambarnya dari supermarket, suamiku langsung melemparkannya begitu saja di atas ranjang dan menyuruhku untuk segera mengenakan.
Aku memandanginya begitu lama. “Keren juga”, batinku. Anehnya, tiap kali tanganku akan meraihnya, timbul pemberontakan kuat dalam hati. Jadilah aku hanya mengamati bokong itu dengan tatapan gemas tanpa berani menyentuhnya.
Aku pun berpikir, kenapa, kenapa aku harus selalu merawat penampilan dengan memanfaatkan sebongkah bokong? Padahal, bokong asliku masih dalam keadaan baik-baik saja; padat, segar dan energik. Perempuan berumur dua puluh tiga tahun sepertiku mana mungkin tampak membosankan hanya gara-gara bokong yang usang. Kalian tahu? Akulah primadona yang dulu menjadi bahan perbincangan sekaligus obyek rebutan lelaki-lelaki di kampus. Juga bunga desa, hingga tak bosan-bosannya pak lurah berupaya melantikku sebagai bini keempat.  
Pertanyaanku mengembang, masakah ukuran keindahan tubuh perempuan telah bergeser? Ya, dari wajah ke bokong? Siapa pula yang berhak menentukan pergeseran itu? Adakah organisasi internasional yang memiliki kewenangan menetapkan standar estetika perempuan? Dan, apakah pergeseran yang dimaksud sebagai tanggapan atas sikap orang-orang lelaki yang mulai muak dengan wajah perempuan? Wajah yang rajin dipoles, ditutupi bedak tebal, dipermak dengan kosmetik yang luar biasa mahal, hingga dioperasi di luar negeri, demi mendapatkan bentuk paling mutakhir serta meyakinkan?
Kalau ditelisik lebih dalam, kemuakan para lelaki sebenarnya bukan pada perombakan wajah perempuan, melainkan lebih karena menganggap kepercayaan diri selaku makhluk Tuhan sedikit demi sedikit mulai tumbang. Parahnya lagi, mereka menilai bahwa mayoritas perempuan sudah terjangkit virus kemunafikan. Benar. Perempuan yang ingin terlihat cantik, nekat merendahkan harga diri dengan merubah penampilan. Padahal, itu sama saja membohongi diri sendiri, membohongi keluarga, membohongi lingkungan. Pokoknya, membohongi sesiapa yang mengira bahwa dirinya adalah cantik.
Dan, apakah aku juga termasuk orang yang berbohong? Tapi, kalau boleh membela diri, aku berbohong demi kepentingan suami. Berdosakah berbohong yang demikian ini? Ehmm….
Ya, sebagaimana yang kalian pahami, selama ini aku hanya menurut apabila diperintahkan untuk mengganti bokong yang melekat pada tubuhku.
“Cepat pakai! Ini bokong terbaru yang belum beredar di pasaran.”
Begitulah suatu ketika suamiku memberi instruksi.
Dan, sambil menyunggingkan senyum aku pun menanggalkan bokong lama dan lekas menyalin dengan bokong pemberian sang suami tercinta.
Awalnya, aku merasa, mantan pacarku itu benar-benar menaruh perhatian padaku, sampai-sampai rela menyisihkan gaji untuk sekadar membeli bokong. Bahkan, pernah ia menguras dompetnya untuk memborong sepuluh bokong sekaligus, sebagai hadiah ulang tahunku. Akan tetapi, kini, aku merasa bahwa aku ini istri yang diperlakukan sedemikian buruk, karena acap dipaksa meluluskan hasrat suami. Kecurigaan menghinggapi pikiran. Jangan-jangan, baginya, aku sudah tidak begitu menarik, sehingga setiap kali akan keluar bersama ia menatap bokongku dengan sinis dan mendesis, “bokongmu sudah waktunya diganti!”
***
Srintil, pembantuku, adalah perempuan tujuh belas tahun yang merasa beruntung karena tanpa menghunus biaya, ia bisa berganti-ganti bokong sesukanya. Begitulah. Setiap aku memakai bokong baru, bokong lama kutinggalkan lalu kusimpan di gudang. Srintil kuperbolehkan menggunakannya dengan syarat ia bersedia merawatnya. Hitung-hitung itu pekerjaan tambahan, selepas ia menuntaskan kewajiban pokoknya membersihkan seisi rumah, halaman, mencuci dan menyetrika baju, juga belanja keperluan dapur.
Semangat Srintil selalu meluap-luap tatkala tiba waktu belanja. Itu artinya, dua jam sebelumnya ia sudah menentukan bokong mana yang hendak dibawa. Sebelum melanting catatan apa saja yang perlu dibeli, terlebih dulu ia mematut-matutkan diri di muka cermin dengan memegangi bokong yang dikenakan. Pantaskah? Kedodorankah? Terlalu kecilkah? Sanggup membuat lelaki megap-megapkah? Ratusan bokong koleksiku sudah lebih baginya untuk mengetam kata ‘puas’. Apalagi, terkadang suamiku diam-diam memotivasinya. Bagaimana tidak. Anton menyarankan Srintil untuk sering-sering menukar bokong, agar ia cepat dapat jodoh. Ada-ada saja!
Mendapat lampu hijau, Srintil memanfaatkan keleluasaan yang dilimpahkan majikan. Bokong-bokong yang pernah menghiasi tubuhku ia coba satu per satu. Mulanya, ia hanya memanfaatkan bokong-bokong itu saat pergi ke supermarket. Lama-kelamaan, ia juga memakainya saat mengepel, menyapu lantai, atau sekadar merendam baju di mesin cuci. Seakan-akan kepercayaan dirinya bertambah ketika bokong-bokong bekasku lengket di pangkal pahanya.
***
Masih saja kupandangi bokong itu. Ya, bokong yang memicuku berpikir macam-macam. Padahal, sebelumnya, dulu, tiada pikiran apa-apa sewaktu membongkar pasang daging kenyal dan padat lemak itu. Saat sang suami menghadiahkan bokong, aku cuma perlu memakainya sesegera mungkin. Titik.
Tapi, ini kali tidak. Aih, aih, aih… Ada rasa bersalah yang sekonyong-konyong menebar ancaman. Martabatku sebagai perempuan seakan-akan luntur jikalau aku nekat mengekor kemauan suami. Menyiasati kemolekan dengan aneka rupa bokong, sama saja dengan mereka yang gemar tampil seronok dengan kosmetik berlebihan. Dan, seperti halnya perempuan yang menggunakan wajah ‘palsu’, aku pun sebetulnya telah mendustai diri sendiri. Juga, tentunya, bokong-bokong yang selama ini menjadi penggenap performa. Bokong-bokong yang disalahgunakan demi membuncitkan nafsu manusia.
Aku memejam seraya menarik nafas dalam-dalam. Tak lupa pula memohon maaf kepada bokong-bokong yang genap kusalahgunakan. Memohon maaf atas segala kesalahan yang nyatanya, memang sengaja kulakukan.
Dalam rasa penyesalan yang sangat, enggan aku membuka mata, jika saja tidak berseliweran suara kencang dari luar, “Sandra! Sandra!”
***
Dalam hati terdalam, aku agak kesal dengan perilaku Srintil yang kian hari kian mencemaskan. Bagaimana tidak mencemaskan kalau dalam sehari, pagi dan sore, ia memakai dua bokongku secara bergantian. “Wah, bisa rusak kalau caranya kayak gini.” Batinku meraung.
Meskipun demikian, aku berusaha meredam serta menutupi kekesalanku dengan berbasa-basi memuji bahwa ukuran tubuhnya selalu pas dengan bokong-bokong yang kupunya. Dan, menyambut pujian itu, Srintil malah tersenyum bangga.
Hingga kekesalan itu akhirnya memuncak, pada suatu siang, aku hanya berani memuntahkannya dengan pura-pura bertanya, “kok makin semangat pakai barang bekas?”
“Iya, Ndoro. Srintil kan pengen cepet dapat suami. Jadi, pakainya harus lebih rajin.”
Aaarrrghh! Andaikan emosiku tidak sanggup lagi kubendung, pasti sudah kuratakan hidungnya dengan tonjokan paling telak.
***
Duduk bersilang kaki di atas kursi, aku melirik ke arah bokong seksi itu. Bokong yang, sepertinya memiliki keserupaan dengan bokong Angelina Jolie, Scarlett Johansson, atau Kristen Stewart. Bukan, bukan. Barangkali ia lebih mirip dengan bokong Kelly Hu atau Song Hye Kyo. Dalam hati mungilku, sesungguhnya aku terpesona dengan apa yang dibawakan oleh suami. Ya, ya, berbicara kualitas, pastilah bokong satu ini berada beberapa tingkat di atas bokong-bokong sebelumnya. Satu lagi, lebih mahal pula harganya.
Maklumlah. Hari ini adalah hari di mana suamiku akan bertemu dengan bos-bos yang, dua bulan lalu menyanggupi untuk memodalinya dalam bisnis besar di Hongkong. Dari dulu, Anton selalu tahu apa dan bagaimana kebutuhan pasar. Itulah mengapa, ia kerap dipercaya memegang kendali sejumlah bisnis beromzet milyaran. Mulai dari pergadaian wajah, persewaan payudara hingga penukaran leher perempuan. Dan, kini, ia bermaksud mencoba bisnis baru; menjual bokong di negeri orang.
Benar. Dugaan kalian memang benar. Ia menyuruhku memakai bokong ini adalah dalam rangka meyakinkan para pemodal. Ah, apa? Berarti aku cuma dijadikan alat supaya orang-orang menyebalkan itu mau mengulurkan bantuan? Dasar!
“Ayolah Sandra! Ini sudah jam Sembilan. Cepatlah sedikit!”
Menangkap seruan suami, pikiranku buyar.
***
Tiada pembantu paling mujur selain Srintil. Tepat di hari pengabdiannya kesembilanpuluh di rumahku, ia memperoleh apa yang dari dulu dibayangkan; suami.
***
Sebab terlalu lama menunggu di ruang tamu, suamiku memilih mengajak Srintil yang hari itu berparas cantik, montok, dengan bokong yang benar-benar menggiurkan. Lelaki manapun akan terpincut melihatnya. Bahkan, dibanding diriku, suamiku yakin bahwa Srintil lebih cocok menemaninya menemui orang-orang dungu itu. Ya, orang-orang yang rela mengeluarkan uang demi mengeruk keuntungan dari bokong perempuan itu.
Seusai menimbang agak panjang, aku memutuskan untuk tidak menjamah bokong yang dari tadi membuatku gusar. Lebih dari itu, aku pun melepas bokongku sendiri sebagai bentuk pelampiasan.
Aku keluar dari kamar tanpa bokong. Mengetahui Srintil yang berjalan, mengapit mesra lengan Anton, aku berteriak lantang, “hei, ia suamiku!”
Srintil dan suamiku, keduanya menoleh dan serentak berujar, “haaaa….. hantuuuu!”

Yogyakarta, 2012 

Keterangan: Cerpen ini terinspirasi dari cerpen Agus Noor berjudul “Wajah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar