Sabtu, 13 Februari 2016

Literasi dan Warung Kopi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Sabtu, 13 Februari 2016)

Ada yang bilang, “hari belum lengkap tanpa secangkir kopi”. Bagi sebagian orang, minum kopi adalah rutinitas tak tergantikan dan sukar ditinggalkan. Walaupun identik dengan kaum Adam, dalam dasawarsa terakhir, kegiatan ini juga merambah kaum Hawa. Jadilah warung kopi tempat nongkrong dan kongkow bersama paling mengasyikkan dan mengundang ketagihan.
Bagi para remaja, warung kopi merupakan ajang pengukuhan diri. Di sinilah, mereka bisa menunjukkan eksistensi dan identitas diri. Solidaritas dan kesadaran berbagai dapat terbentuk melalui warung kopi. Rencana-rencana komunitas dapat disusun dengan rapi. Keleluasaan bertindak dan kedewasaan berpikir terbangun, sebab warung kopi menyuguhkan kebebasan berekspresi.
Bagi para pebisnis, warung kopi menjanjikan deal-deal besar. Bermula darinya, mereka bisa mendapatkan sejumlah proyek berharga. Suasana yang begitu cair menyebabkan kepercayaan pemodal dapat dengan mudah diraih. Mereka dapat mengeruk keuntungan hanya bermodal secangkir kopi.
Dari warung kopi, seseorang dapat mengunduh beragam keuntungan. Sambil menyeruput hangatnya kopi, ia bisa dengan leluasa mengutarakan keluhan, musibah, dan berbagai cobaan yang dihadapi. Banyak permasalahan sehari-hari bisa diselesaikan di sini. Sesama pengunjung akan berusaha melempar solusi. Meski apa yang mereka tawarkan terkadang kurang realistis, paling tidak muncul beragam alternatif atau pilihan yang mengilhami lahirnya keputusan. 
Bahkan, peradaban berbincang yang dikenal dengan discourse (wacana) di Paris tak terlepas dari peran warung kopi. Para filosof, intelektual, pemikir, dan seniman memanfaatkan suasana non-formal di dalamnya guna melontarkan pemikiran-pemikiran baru dan menembus kokohnya aristokrasi birokrasi tradisional. Dengan menjunjung tinggi etika, mereka memperbincangkan segala macam problematika kehidupan tanpa terjebak dalam kubangan “gosip murahan”. (Mudji Sutrisno, 2006: 89).

Pemantik Inspirasi
Manfaat warung kopi juga dirasakan oleh para sastrawan dalam mengembangbiakkan iklim literasi. Banyak karya bermunculan setelah “kaum pelamun” mendalami fungsi, urgensi, dan filosofi warung kopi. Inspirasi dan imajinasi mereka terbentuk lantaran keberadaan warung kopi.
Acep Zamzam Noor mengekalkan warung kopi dalam puisi “Lagu Kasmaran” (Gramedia Pustaka Utama, 2009): Telah kujelajahi warung-warung kopi/ Kusatroni tenda-tenda pengungsi, main remi atau membacakan puisi/ Bersama relawan kureguk segala bantuan, bersama pejuang kutenggak/ Semua sumbangan./ Kau sedang apa, biduanku?
Dalam cerpen “Tentang Seseorang yang Mati Tadi Pagi” (Gramedia Pustaka Utama, 2008), Agus Noor meminjam warung kopi guna menyesuaikan setting tempat dengan alur cerita. Penulis menganggap bahwa kematian seseorang pada pagi hari lebih cocok jika dihubungkan dengan warung kopi.
Dalam karyanya ia menulis, kabar kematian seseorang dengan tenang dan bahagia diceritakan oleh tukang kebun di warung kopi. Cerpen yang terangkum dalam buku 20 cerpen Indonesia terbaik 2008 (Anugerah Sastra Pena kencana) tersebut menyebutkan, “Setiap sore, sahabatmu memang suka mampir ke warung kopi di sudut jalan itu. Tak seperti sore-sore biasanya, yang gaduh dengan celoteh dan percakapan, sore itu sahabatmu merasakan kemurungan yang luar biasa. Kemurungan, yang sepertinya terbawa oleh cerita tukang kebun itu.”
Novel Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi (Gagas Media, 2015) seolah kurang lengkap tanpa warung kopi. Penulisnya, M. Aan Mansyur, menyelipkan warung kopi saat pencerita melakukan “ritual perjumpaan” dengan penulis ceking yang ditemui pertama kali saat peluncuran buku puisi keduanya.
Dalam karya yang versi awal kisahnya ditulis pada penghujung 2006 tersebut, warung kopi difungsikan sebagai lokasi penyegaran pikiran dan gagasan. Di sinilah seseorang dapat melempar humor, tanpa berbau sarkastis atau provokatif, guna memancing gelak tawa pengunjung lainnya. Kesan ini di antaranya dapat ditangkap saat penulis ceking bertutur, “Golongan darahku A. Arabika.”

Ala Warung Kopi
Mengingat pentingnya warung kopi sebagai basis pengembangan budaya literasi, baru-baru ini Perpustakaan Provinsi Kalimantan Barat mengadakan survei terhadap fasilitas bahan bacaan di sejumlah warung kopi. Dari survey tersebut terkuak bahwa buku, koran, dan majalah merupakan bacaan yang paling diminati kaum penikmati kopi.
Data menunjukkan, mayoritas pengunjung (82%) ingin memanfaatkan bahan bacaan gratis di warung kopi. Karena gagasan ini didukung oleh sejumlah pihak, maka pemerintah daerah dan pemerintah kota berencana meningkatkan fasilitas bahan bacaan di ruang publik. Kegetolan masyarakat dalam membaca disambut pemerintah dengan memperluas pelayanan, terutama dalam bidang literasi.
Mengumpulkan ratusan buku, seorang penikmat kopi asal Aceh berusaha memfungsikan warung kopi sebagai lokasi mengunduh ilmu yang menyenangkan dan menggairahkan. Ia menganggit sebuah konsep “literasi ala warung kopi”. Sebagaimana diketahui, ritual minum kopi genap mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Aceh. Menjamurnya warung kopi di sejumlah tempat dimanfaatkan untuk memprakarsai jaringan literasi.
Barang tentu langkah ini patut diapresiasi. Bagaimana pun, di dalamnya terkandung solusi atas rendahnya kualitas pendidikan di daerah berjuluk Serambi Mekkah tersebut. Betapa dahsyatnya warung kopi, sehingga dipercaya sebagai bagian dari ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa!

Bojonegoro, 2015

2 komentar: