Selasa, 02 Februari 2016

Quo Vadis Daerah Perbatasan (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Selasa, 2 Februari 2016)

Kondisi infrastruktur di wilayah perbatasan cenderung tertinggal dibandingkan di pusat kota. Tak heran jika akhir-akhir ini pemerintah menggalakkan pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan.
Selama ini, keunggulan daerah perbatasan kurang tereksplorasi dengan baik. Akibatnya, potensinya yang luar biasa tidak menjadi daya tarik bagi sejumlah pihak untuk mengembangkannya. Atas dasar inilah, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar membujuk para investor untuk menanamkan modal. Ada tiga kategori usaha di daerah perbatasan yang dapat diolah, baik kegiatan usaha primer (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan pertambangan), sekunder (industri rumah tangga dan agroindustri), maupun tersier (jasa pelayanan, jasa konstruksi, dan jasa perdagangan).

Program PKBI
Dalam rangka mendorong investasi di daerah perbatasan, pemerintah meluncurkan konsep program pembangunan kawasan beranda Indonesia (PKBI). Program ini diharapkan mampu mengangkat “derajat” daerah perbatasan sebagai beranda negara yang berdaulat, berdaya saing, dan aman. Pemerintah genap mengubah pandangan terhadap daerah perbatasan. Hal ini menandakan, ada upaya strategis dalam menghilangkan diskriminasi dan stigmatisasi daerah perbatasan sebagai daerah tertinggal.
Menurut Said (2012), sejak 2008 terjadi perubahan perspektif bahwa pulau-pulau terluar dan daerah perbatasan bukan lagi beranda belakang negara yang kurang memiliki peran dan kontribusi. Paradigma baru mengukuhkan daerah perbatasan sebagai beranda terdepan negara yang layak mendapat perhatian lebih. Dengan demikian, percepatan pembangunan di sana merupakan sebuah keniscayaan.
Program PKBI memiliki target menumbuhkan daerah perbatasan menjadi pusat perkotaan, sehingga ia bukan lagi sebatas pos lintas batas negara, tapi pintu gerbang perdagangan internasional, simpul utama kegiatan ekspor dan impor, juga pusat pertumbuhan ekonomi yang turut mendongkrak perkembangan kawasan di sekitarnya.
Dengan dibangunnya sejumlah aset, kebutuhan dasar, sarana dan prasarana transportasi, serta konektivitas antar pulau di daerah perbatasan, maka fokus utama pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran bisa terwujud. Selain itu, lemahnya manajemen birokrasi dan organisasi kerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik di sana bisa diminimalisir.
Penerbitan permendagri tentang penetapan 22 daerah perbatasan, termasuk pembangunan sarana di 17 daerah perbatasan mengandung optimisme bahwa tugas dan fungsi negara, sesuai Pembukaan UUD 1945, dapat terealisir: ’’… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa …’’.

Pembangunan Partisipatif
Beragam konflik kerap menghinggapi sejumlah daerah perbatasan di Indonesia. Lahirnya konflik-konflik tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa mereka yang menghuni daerah perbatasan sudah akrab dengan persoalan kemiskinan, segregasi sosial, keamanan, dan budaya.
Yang tidak kalah penting yaitu masalah geopolitik berupa sengketa perbatasan (border dispute) dengan negara lain. “Pertama, soal administratif wilayah perbatasan dan segala konsekuensi teknis lainnya. Ini barangkali tidak begitu rumit. Yang cukup kompleks adalah problem nasionalisme. Masalah kedua ini sudah lama menjadi perhatian pemerintah, tetapi belum ada solusi tepat.” (Kumolo, 2015)
Faktor ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan rendahnya kualitas pelayanan publik di negeri ini menyebabkan mereka yang berdomisili di daerah-daerah perbatasan berpindah status kewarganegaraan, melakukan eksodus ke negeri jiran, serta mengantongi KTP ganda. Kondisi seperti ini dapat mengorbankan kesadaran nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air, yang jika dibiarkan rentan menumbuhkan benih-benih denasionalisme.
Atas dasar inilah, jangan sampai program PKBI hanya menjadi pepesan kosong dan retorika politis yang mengesampingkan nilai-nilai humanis. Perlu disadari, tingginya syahwat politik tokoh-tokoh lokal dan besarnya hasrat pragmatis “investor busuk” mendegradasi kepekaan mereka terhadap kondisi, realitas, kapabilitas, dan kapasitas objektif daerah perbatasan. Bagaimana pun, fragmentasi sebuah bangsa timbul lantaran tergesernya aspek sosial, budaya dan kearifan lokal oleh pelbagai kepentingan elite.
Solusi percepatan pembangunan dan perbaikan kualitas hidup orang-orang yang bermukim di daerah perbatasan semestinya bercorak partisipatif. Mereka harus terlibat dalam mengatasi problematika yang melingkupi diri dan lingkungannya. Mereka tidak semestinya dianggap sebagai beban sosial dan negara, melainkan aktor dan subjek pembangunan.
Implementasi program PKBI selayaknya disinergikan dengan program lain sebagai kesatuan sistem pengembangan potensi daerah perbatasan. Pendekatan pengembangan daerah perbatasan juga harus diarahkan pada perspektif investasi dengan skenario hasil investasi jangka pendek dan menengah. Digenjotnya peningkatan sarana, prasarana, dan infrastruktur semestinya dapat semaksimal mungkin memperpendek rentang kendali (span of control) antara pengambil kebijakan dan masyarakat serta menciptakan pemerataan pembangunan.
Untuk mewujudkan hal di atas, diperlukan political will pemangku kebijakan dan kerja keras stakeholder. Dengan demikian, selain meyakini bahwa daerah perbatasan merupakan garda terdepan yang menjaga keutuhan NKRI, publik juga menganggap bahwa pengelolaan sumber daya alam dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia tidak hanya terkonsentrasi di Jawa.
  
Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar