Senin, 23 Mei 2016

Makam (Teroka_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kompas" edisi Senin, 23 Mei 2016)

Lebih kurang 2.300 petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan polisi dikerahkan untuk menggusur ratusan rumah di Kampung Pulo, Jakarta Timur, Agustus tahun lalu. Oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mereka yang bermukim di sana puluhan tahun dianggap menempati lahan ilegal. Salah satu ormas Islam meminta agar tujuh makam di Kampung Pulo yang dikeramakatkan warga tetap dipelihara.
Peristiwa di atas menunjukkan makam adalah bagian penting dari kehidupan. Pemeliharaan terhadap makam menunjukkan rasa hormat kepada leluhur yang mewariskan keturunan, tradisi, dan kebudayaan. Mungkin di sini, sisi lain dari hidup manusia yang paradoksal terpelihara: untuk menjaga kehidupannya, ia pun merawat dan menghormati secara kontinu yang mati. Keseimbangan terus diupayakan antara yang sudah tiada dan kita yang masih ada.
Dalam sejarah, makam atau kuburan, tempat yang “mati” diyakini masih bersemayam, memiliki posisi dan peran sosialnya sendiri. Ia bahkan mampu memengaruhi sikap, perilaku, dan cara hidup manusia. Sebuah makam, misalnya, bisa memiliki posisi khas yang tak bisa disentuh siapa pun, agamawan atau bangsawan. Di makam Sunan Gunung Jati, misalnya, ada larangan mendekati nisan sang Sunan. Wali yang terkenal dengan wasiatnya, "ingsun titip tajug lan fakir miskin" (saya titip masjid/mushala dan fakir miskin) itu tidak bersedia makamnya dikeramatkan.
Sampai akhirnya, Daendels menjadi orang Eropa pertama yang bisa mencapai teras tertinggi makam Sunan Gunung Jati (Lombard, 1996: 302). Adapun peziarah umum hanya diizinkan mengunjunginya sampai pintu keempat di serambi muka Pesambangan. Dengan jabatannya sebagai Gubernur Jenderal, Daendels dapat dengan mudah melabrak tatanan sosial yang berlaku.
Makam menjadi sarana “menghidupkan kembali” nenek moyang. Betapa pohon kebaikan yang ditanam tidak terhalang oleh kematian. Mereka seolah berumur panjang, sebab buah kebajikan senantiasa dinikmati semua orang. Barangkali inilah yang menjadi dasar masyarakat Tionghoa menggelar ritual Ceng Beng (baca: Qing Ming = cerah dan cemerlang) dengan berkunjung, membersihkan, serta menghiasi makam leluhur.
Ceng Beng dimaknai sebagai waktu untuk mencerahkan memori terhadap anggota keluarga yang telah tiada. Merenung di makam saat perayaan Ceng Beng merupakan momentum mengingat kembali kebaikan orang-orang yang telah meninggal. Bagaimanapun juga, mengenang hal serba baik bisa mengundang energi positif yang menuntun setiap manusia menggapai chai shen (pelita dewa rezeki) dan menjauhkan jiong (musuh nasib).
Makam memuat perkembangan sosiologi masyarakat, baik corak kehidupan primitif maupun modern. Pada masa lampau, makam terkesan menyeramkan. Tak heran, ketika melewati kompleks pemakaman, orang merasa cemas dan takut. Berpedoman pada mitos, orang enggan melangkah serampangan di atas makam.
Saat masyarakat mulai terbius konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, makam mulai kehilangan daya magis. Widya (2015) berpandangan, saat ini makam tak lagi angker dan kurang dihargai. Makam bisa beralih fungsi menjadi perumahan, mal, apartemen, serta proyek-proyek modern lainnya. Penggusuran makam dapat dilaksanakan hanya dengan memindahkan jasad di dalamnya. Bahkan, acara-acara televisi kerap menggunakan makam sebagai lahan bisnis yang mengeruk keuntungan.
Dalam kadar tertentu, makam berperan sebagai sumber sejarah. Makam turut memuluskan aksi penggalian sejarah. Makam memupuk optimisme dalam menyibak tabir kehidupan. Masuknya agama Islam ke Indonesia ditandai dengan adanya makam tertua bercorak Islam, yaitu makam Fatimah binti Maimun di daerah Leran (Jawa Timur) berangka tahun 1082. Nisannya bertuliskan ayat-ayat Al-Quran dengan gaya kaligrafi kufi.
Ditemukannya makam bercungkup dengan bingkai mendatar mirip model hiasan candi itu memberi sinyal bahwa Islam datang pada masa pemerintahan pemerintahan Hindu, tepatnya raja Airlangga. Makam Fatimah binti Makmun merupakan bukti otentik menyebarnya Islam di Jawa.
Makam memuat martabat, gengsi, dan prestise. Identitas serta status sosial bisa dilihat dari tempat manusia dikebumikan. Taman Pemakaman Umum (TPU) Petamburan, Jakarta Pusat, merupakan makam favorit orang-orang Tionghoa lantaran nisannya mengambil gaya arsitektur modern jengki. Pada mulanya, salah satu makam tertua, terunik, dan bersejarah sejak zaman Kota Batavia hingga Kota Jakarta itu diperuntukkan bagi tuan tanah, bangsawan, dan masyarakat Kristiani. Pada 1960-an, makam ini terbuka bagi warga Jepang dan keturunan Tionghoa.
Kejayaan makam ini ditandai dengan dominasi nisan beraksara Tiongkok yang tersebar ke seluruh penjuru makam. Bentuk nisan kian artistik, sebab berukirkan dua naga terbang disertai patung-patung singa. Makam berbahan teraso atau batu granit dengan atap beton. Kemegahan dan kemewahan TPU Petamburan terwakili mausoleum keluarga tuan tanah Bogor, OG Khouw, yang berada di tengah makam. Di samping berukuran besar, kubahnya terbuat dari bongkahan marmer hijau dari Australia (Joga dan Antar, 2009: 30).
Eksistensi makam menunjukkan begitu kuatnya gejala akulturasi budaya di negeri ini. Unsur budaya lokal, Melayu, Jawa, dan Eropa memengaruhi bentuk makam-makam kuno di daerah Sulawesi Selatan. Perpaduan budaya menunjukkan, Islam bersifat adaptif. Meskipun demikian, hal ini tidak lantas mengubah esensi, nilai, serta prinsip ajaran Islam.
Akulturasi budaya pada makam hadir pada komponen arsitektur makam, mulai dari tata letak, lokasi, bentuk nisan, corak hias, hingga inskripsi. Beragam unsur budaya yang ditemukan pada makam menunjukkan, arus kuat budaya-budaya besar turut membentuk peradaban manusia di Sulawesi Selatan.
Makam juga bersinergi dengan jagat politik. Mereka yang berkecimpung di gelanggang politik berhasrat menjadikan makam sebagai medan persaingan dan ajang pertempuran berebut kekuasaan. Menjelang Pilkada, elite politik gencar mengunjungi makam sebagai lokasi strategis berkumpulnya masyarakat. Menampilkan tontonan dan akrobat politik, mereka membagikan ”berkah” berupa uang dengan imbalan suara rakyat. Makam menjadi bagian dari kampanye guna menggaet banyak dukungan.
Di negeri ini, mengutip Alfian (2013), tradisi politik cenderung bersifat top-down ketimbang bottom-up. Sering kali masyarakat berharap uluran tangan dan belas kasihan para elite. Barang tentu hal ini bertolak belakang dengan Amerika Serikat. Di sana, masyarakat justru mengumpulkan donasi bagi kandidat presiden.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar