Senin, 26 Februari 2018

Banjir dan Kearifan Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Republika" edisi Senin, 26 Februari 2018)


Sejumlah desa di berbagai penjuru tengah dilanda bencana alam, terutama banjir. Selain mengakibatkan rusaknya fasilitas publik dan hilangnya harta benda, malapetaka ini juga membuat penduduk desa terluka bahkan meninggal dunia.
Hebatnya, munculnya musibah tidak lantas membuat ikatan orang desa rapuh, melainkan semakin kuat. Dengan konsensus tak tertulis, mereka bahu-membahu menghilangkan rasa sedih, depresi serta trauma.
Komunalisme membimbing mereka untuk turut serta merasakan penderitaan orang lain. Dengan berbagi perasaan, mereka bermaksud menyelipkan hiburan bagi siapa saja yang tertampar musibah.
Pengalaman sejarah memberikan pelajaran berharga bagi orang desa untuk sebisa mungkin menjaga kebersamaan. Interaksi sosial terjalin dalam kegiatan sehari-hari. Psikologi dan sosiologi perdesaan terbentuk lantaran ketika memperoleh musibah, orang desa menghadapinya dengan bijak.

Kepemimpinan Lokal
Bagi masyarakat perdesaan, usaha meringankan penderitaan sesama genap terlembaga selama ratusan tahun silam. Muncul kebijaksanaan bahwa kesedihan yang menimpa salah satu atau sebagian anggota desa ditanggung oleh semua warga.
Kearifan lokal inilah yang terbukti sanggup menguatkan solidaritas dan kepercayaan di antara mereka. Dengan demikian, ikhtiar mengatasi kesedihan tidak hanya berada di pundak individu, melainkan juga tanggung jawab banyak orang.
Berjalannya kehidupan di desa meniscayakan atensi besar terhadap segala bentuk kenestapaan. Dalam upaya mengusir kesengsaraan, pemimpin memegang amanah yang lebih berat.
Bagi masyarakat Gorontalo, misalnya, kepemimpinan berdasarkan nilai kearifan hileia, yaitu kemampuan kepala dalam menanggulangi bala (dembulo), seperti kematian, bencana alam, serta musibah lainnya.
Menurut bahasa setempat, hileia bermakna dulialo atau takziah menghibur keluarga yang berduka. Pemimpin tidak boleh “tebang pilih” saat menyambangi siapa saja yang didera kemalangan. Ia harus memperlakukan semua lapisan masyarakat secara adil dan sederajat.
Selaku warga, setiap orang berhak menerima belaian “kasih sayang” sang pemimpin. Hak mendapat kunjungan dan simpati kepala desa bukan berlandaskan kelas sosial, akan tetapi bermukimnya individu di suatu tempat.
Dengan demikian, tidak hanya mengatur tata kehidupan desa, menjalankan pelayanan administratif, serta bertanggung jawab kepada pemerintahan di atasnya, kepala desa juga dituntut hadir dalam kesedihan warga.
Di sinilah fungsi dan peran pemimpin lokal diuji. Dalam taraf tertentu, ia bukan hanya terlibat dalam perkara formal-mekanis, namun juga kultural-psikologis. Ketentuan demikian sesuai dengan Pasal 26 Ayat (4) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Keramahan dan kepedulian pemimpin lokal Gorontalo digenapi dengan kesigapan warga saat mengulurkan bantuan. Para tetangga memindahkan dapurnya dan memasak berbagai hidangan di rumah keluarga yang tertimpa musibah dengan bergotong-royong.
Hal ini terutama ditemukan dalam kasus kematian. Di samping peralatan dapur, setiap warga membawa pula bahan makanan, semisal beras, sayur, ikan (ayam), serta bumbu dapur sesuai kemampuan masing-masing untuk kemudian dimasak bersama seraya menghibur keluarga yang berduka (Jans Wilianto Nasila, 2014: 148).

Membangun Kesadaran
Sayangnya, di beberapa tempat, kearifan lokal semacam ini mulai ditinggalkan. Industrialisasi dan gejala mengkota pada desa-desa Indonesia berimbas pada meningkatnya individualisme masyarakat perdesaan.
Kini, orang desa lebih disibukkan dengan urusannya sendiri daripada memerhatikan kepentingan orang lain. Aktivitas berbagi perasaan diwujudkan dengan berkoar di media sosial (medsos). Akhirnya, dunia maya menjadi sarana melarikan diri dari realitas.
Apalagi, muncul prediksi bahwa pada tahun 2035, penduduk desa tinggal 30%. Adapun sisanya memilih kota sebagai loka bermukim. Kecenderungan di atas mengindikasikan hilangnya kesadaran tentang desa sebagai akar dan identitas kultural.
Merupakan suatu kebanggaan ketika mereka sanggup mengatrol “status” dari wong ndeso menjadi kaum urban. Betapa hari-hari mereka dipenuhi dengan hasrat dan cita-cita urban. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran konsep urbanisasi dari ranah fisik ke ranah psikologis.
Urbanisasi tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas fisik, tetapi juga paradigma berpikir masyarakat.
Dalam konteks inilah, diperlukan upaya serius dari semua pihak untuk memupuk kesadaran generasi muda bahwa desa merupakan tempat hunian yang senantiasa menjanjikan kenyamanan, ketenteraman dan kesejahteraan.
Dana desa yang bersumber dari APBN dapat digunakan untuk membangkitkan perekonomian lokal, sehingga mereka tidak tergiur untuk berburu rupiah di wilayah perkotaan. Apabila kesadaran ini terbangun dengan baik, niscaya prinsip kehidupan leluhur dan nenek moyang tetap diwariskan lintas generasi.
Berbagai wujud kearifan lokal para pendahulu bisa dibangkitkan kembali sebagai sarana meringankan penderitaan korban bencana alam, khususnya banjir. Kearifan lokal yang dimiliki oleh orang-orang desa dapat diadopsi oleh mereka yang tinggal di kota-kota besar.
Sehingga, upaya membendung derasnya air, tidak cukup dilakukan dengan mengandalkan gelontoran uang dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah semata, melainkan juga melalui kearifan lokal yang diimpelementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bojonegoro, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar