Rabu, 28 Februari 2018

Menilai Eksistensi dari Warung Kopi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kontan" edisi Senin, 26 Februari 2018)


Sukses bermusik dan menelurkan sederet album ternyata tidak membuat personel grup band Slank berpuas diri. Demi mendorong perkembangan kalangan usaha kecil dan menengah (UKM), kini mereka merambah bisnis kopi.
Bisnis kopi saat ini mulai menjamur di mana-mana. Mulai dari tempat elite hingga ke area perumahan hingga di gang-gang sempit perkampungan. Bagaimana pun, dalam aspek sosiologis dan ekonomis, keberadaan warung kopi (warkop) mempunyai kedekatan emosional dengan masyarakat kecil yang bermukim di desa.
Merosotnya nilai rupiah yang seolah semakin menjadi-jadi saat ini kemudian ditambah dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok serta menyempitnya lahan pekerjaan selalu disambut dengan riang oleh masyarakat perdesaan. Bahkan, di sela-sela menghayati penderitaan, mereka mampu menyelipkan semacam perayaan. Bila kaum urban menggelar pesta dengan red wine, kaum rural merayakannya dengan rokok dan secangkir kopi.
Seseorang dapat saja terseok-seok saat melunasi SPP anak, membayar tagihan listrik, membeli sembako, memenuhi kewajiban sosial, maupun keperluan lainnya. Akan tetapi, kebiasaannya mengonsumsi rokok (merokok) dan meminum kopi (ngopi) mesti tetap berjalan. Kedua kegiatan tersebut menjadi semacam hiburan sekaligus kiat melarikan diri dari realitas nan penat.
Berbeda dengan golongan tua yang melakukannya atas dasar kebutuhan, kepergian para remaja ke warkop terkesan hanya untuk mengikuti tren. Semangat zaman mengajak generasi now untuk senantiasa mengikuti arus. Terutama bagi para lelaki, rokok dan kopi menunjukkan eksistensi.
Maskulinitas seolah hanya diukur dari jumlah kopi dan rokok yang dikonsumsi semata. Betapa keberadaan mereka diakui ketika seharian berada di warkop. Sambil dengan santai memandang jalanan melihat sekeliling serta sesekali mengeluarkan sumpah serapah dan kata-kata kurang terpuji.
Sayangnya, apa yang mereka lakukan kurang mendapat apresiasi. Aktivitas merokok dan ngopi mengundang banyak cibiran dari masyarakat. Persepsi negatif ditunjukkan kepada kaum perokok dan penikmat kopi dengan tingkat kedewasaan yang rendah. Tak heran jika golongan tua menuduh kaum milineal tersebut malas, suka berhura-hura, dan gemar menghabiskan uang.
Muncul penilaian bahwa kepergian mereka ke warkop sebenarnya lebih pada upaya berburu jaringan internet via WiFi. Akhir-akhir ini fenomena warung kopi yang menyediakan WiFi genap menjamur sedemikian rupa.
Selain dimanfaatkan untuk bermedia sosial (medsos) secara leluasa, tersedianya jaringan internet membuat para remaja bisa berselancar di dunia maya. Dan fasilitas ini bisa membuat kaum muda betah berlama-lama di kedai kopi. Ini membuat betapa keranjingan terhadap internet menjadikan mereka dinilai sudah lalai terhadap tugas dan kewajibannya.

Budaya Instan
Dalam konteks inilah, citra warkop semakin merosot. Warkop tak lebih dari sekadar loka penyemaian benih-benih individualisme. Pertemuan dua sahabat atau perkumpulan suatu kelompok di warkop tidak lantas menjanjikan keakraban dan kedekatan personal.
Hal ini disebabkan antara lain oleh tujuan mengunjungi warkop yang lebih diarahkan untuk menghibur diri daripada berinteraksi. Meski sama-sama berada di satu tempat, mereka saling menutup mulut. Lantaran lebih sibuk dengan gadget-nya, mereka merasa keberatan untuk sekadar menyapa.
Masing-masing memilih untuk mengakrabi diri di layar ponsel dan sambil sudah barang tentu bermedsos ria. Jagat virtual ternyata lebih menarik daripada realitas yang tampak di depan mata. Akhirnya, warkop hanya menjadi medium pelampias perasaan sekaligus pengumbar kebencian.
Warkop yang tersambung jaringan internet juga menyuguhkan pertemanan bercorak dangkal dan artifisial. Komunikasi yang terjalin melalui Facebook, Instagram, Whatsapp, Line, dan sebagainya sulit menghadirkan ikatan persahabatan yang kental. Bahkan, sebagian di antaranya mengarah ke ikhtiar pembohongan dan penipuan.
Bagi remaja yang masih sekolah, warkop jenis ini tentu melahirkan budaya instan. Fasilitas WiFi menjadikan mereka cenderung meremehkan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Materi-materi yang semestinya diperdalam melalui buku atau media pembelajaran lainnya cukup ditelusuri dengan bantuan Google atau Yahoo.
Globalisasi dan modernisasi membuat para pelajar berorientasi pada tujuan sekaligus mengesampingkan kerja keras. Akhirnya, aktivitas pembelajaran yang mengutamakan proses kerap dinihilkan oleh perilaku instan.
Padahal, dahulu kala, warkop memiliki citra positif. Terutama di kawasan pedalaman, warkop turut menenun ikatan pertemanan, kekerabatan, dan kekeluargaan.
Meski terbilang sangat sederhana, warkop digunakan oleh orang desa untuk menjalin komunikasi secara intens. Kuatnya ikatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara antara lain dikukuhkan keberadaan warkop. Dengan merokok dan ngopi bersama-sama, rasa kepedulian semakin terpelihara satu sama lainnya. Terbentuknya sekat-sekat dan kelas-kelas sosial secara otomatis langsung hilang akibat intensitas kebersamaan yang tinggi.
Berkumpulnya beragam lapisan masyarakat dalam satu ruang dan waktu dimanfaatkan untuk berbagi kisah dan pengalaman sekaligus bertukar pengetahuan. Dari proses inilah, sebagian permasalahan masyarakat dapat teratasi. Munculnya pemecahan atas kesulitan ekonomi, misalnya, lantaran adanya urun rembuk di antara para pengunjung warkop. Mereka terdorong untuk mengulurkan pertolongan kepada sesama, baik dengan uang maupun sekadar memberikan saran.
Perkembangan zaman menuntut adanya perhatian serius terhadap eksistensi warkop. Citra negatif yang melekat padanya bukan selayaknya dihadapi dengan sinis dan pesimistis. Bagaimanapun, menjamurnya warkop di wilayah perdesaan sejauh ini harus dinilai sebagai indikator kebangkitan ekonomi lokal ketimbang berkecambahnya nilai-nilai intoleransi dan kemalasan.
Di sinilah pemberdayaan warkop menemukan urgensinya. Orang tua diharapkan senantiasa memberikan tuntunan kepada buah hati untuk cerdas bersikap. Dengan layanan WiFi di warkop, kaum muda bisa menawarkan karya dan kreativitas kepada publik.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar