Minggu, 20 Mei 2018

Adat dan Konflik Pertanahan (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Sabtu, 19 Mei 2018)

Seorang basir sedang merapal mantra. Ia mengangkat seekor babi dalam kondisi terikat. Pemuka agama Kaharingan tersebut segera mengambil tombak lantas menancapkannya ke tubuh babi. Ia membaca lagi doa dalam bahasa Sangiang (roh) setelah menampung darah babi dalam gelas plastik berisi beras. Di hadapannya berdiri banyak orang dengan wajah cemas. Mereka seolah menunggu apakah hinting pali yang digelar menuai hasil atau nihil. Diselenggarakannya ritual adat tersebut berlatar belakang bahwa para petani kerap menjadi pihak yang dirugikan karena tanah mereka “disulap” menjadi lubang tambang atau perkebunan sawit.
Fenomena di atas menggambarkan bahwa kasus alih fungsi lahan di Kalimantan Tengah genap menyisakan beragam konflik agraria. Pemanfaatan tanah dengan tujuan komersial tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat adat rentan melahirkan problematika sosial. Tak heran apabila sebagian suku Dayak meradang lantaran PT Agrindo Green Lestari (AGL) dianggap telah mencaplok tanah mereka. Betapa kesewenangan perusahaan swasta tersebut dinilai mengesampingkan eksistensi kaum tani.
Padahal, selama bertahun-tahun, mereka benar-benar menggantungkan hidup dari lahan pertanian. Tanah menjadi sumber penghidupan yang di samping menjanjikan kesejahteraan juga menyajikan kebajikan. Terciptanya beraneka bentuk kearifan lokal lintas generasi antara lain disebabkan kentalnya kultur agraris yang secara turun-temurun dipraktikkan terutama oleh orang desa. Bidang agraris sejak lama menjadi sokoguru perekonomian Nusantara yang menyajikan nilai, prinsip, dan etos kebersamaan. Tradisi gotong royong turut dikukuhkan oleh para petani yang senantiasa mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan individu. Komunalisme membimbing mereka untuk hidup guyub dan rukun, termasuk dalam bekerja dan mengelola sumber-sumber ekonomi.

Konsensus Tradisional
Didera penderitaan, kecemasan, serta kebimbangan, suku Dayak menggelar hinting pali. Hinting berarti tanda batas, sedangkan pali bermakna larangan atau pantangan. Tali-tali yang sengaja dipasang oleh warga di tengah-tengah perkebunan sawit menunjukkan batas kawasan yang diklaim berada dalam wilayah kepemilikan mereka. Merujuk konsensus tradisional, barang siapa yang nekat melanggar atau bahkan merusak batas tersebut, ia bakal terkena sanksi adat dari roh nenek moyang.
Mengutip Kompas edisi 31 Maret 2018, Linggua Sanjaya Usop berpendapat bahwa hinting pali ibarat “garis polisi” yang dipasang dengan maksud memohon nenek moyang untuk menjaga kawasan berbatas. Pelaksanaan ritual adat tersebut pada masa silam bersamaan dengan dibukanya lahan atau kebun petani Dayak supaya tidak diserobot oleh petani lain. Bahkan, ritual ini juga berperan mengusir hama tumbuhan. Berdasarkan penjelasan budayawan Kalimantan Tengah tersebut, seiring berjalannya waktu, hinting pali menjadi “gerakan kontra-hegemoni” masyarakat adat Dayak terhadap perusahaan dan pemerintah.
Surat kabar yang sama menyebutkan, hinting pali sudah dilakukan sejak dahulu kala. Berdasarkan catatan historis, belakangan ini ritual adat tersebut juga diadakan di sejumlah lokasi. Pada 2012, warga Kabupaten Murung Raya memasang hinting pali guna mengusir perusahaan tambang yang menghancurkan area keramat di Kecamatan Tanah Siang Selatan. Adapun pada 2016, warga Tumbang Mantuhe, Kabupaten Gunung Mas, juga memasang hinting pali di kawasan perkebunan sawit. Selain area yang diserobot pada akhirnya dikembalikan kepada pemiliknya, warga juga menerima kompensasi atas pohon karet yang mengalami kerusakan.

Ketidakhadiran Negara
Terselenggaranya hinting pali merupakan respons sebagian kalangan atas ketidakhadiran negara dalam urusan rakyat. Dalam ritual adat tersebut tersaji ekspresi kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap negara. Menurut pandangan masyarakat adat Dayak, negara telah abai terhadap hajat hidup rakyat. Betapa kepentingan bersama rentan dikorbankan demi tercapainya hasrat pemodal yang cenderung berorientasi pada keuntungan material bercorak individualistis.
Padahal, suku Dayak semestinya memperoleh lebih banyak manfaat dan akses dari apa yang ada di sekitarnya ketimbang pihak perusahaan. Apalagi, keberlangsungan hidup suku Dayak telah dijamin dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Eksistensi masyarakat adat genap memperoleh pengakuan konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945), di mana pengaturannya ditetapkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ritual adat antara lain digelar ketika jalur formal tidak bisa lagi ditempuh. Saat efektivitas hukum sulit dijangkau, rakyat kecil menginisiasi upaya-upaya irasional dengan kekuatan adi kodrati sebagai penopang utama. Dalam taraf tertentu, penyelenggaraan hinting pali mengindikasikan bahwa mitos mengalahkan rasio. Selain besarnya kepercayaan terhadap ajaran para leluhur yang genap menelusup pada jiwa mereka, dipegangnya aspek-aspek yang bernuansa spiritual-transendental juga lantaran keterbatasan pikiran manusia. Tak berlebihan apabila beberapa orang meyakini perkara mistis melebihi hal-hal yang mudah dicerna logika.

Antropologi Hukum
Pelaksanaan hinting pali di Kalimantan Tengah merupakan ikhtiar memancing atensi pemerintah yang terkesan lebih memihak ‘kaum berduit’ daripada rakyat kecil. Di dalamnya tersimpan inisiatif lokal dalam menghadapi kebijakan nasional. Apa yang dilakukan oleh suku Dayak memuat gugatan bahwa hukum seakan hanya berpihak pada mereka yang kuat sekaligus menihilkan siapa saja yang lemah. Dalam banyak kasus, pembagian masyarakat dalam kelas atas dan kelas bawah menciptakan hubungan antarkelas yang bersifat eksploitatif atau menindas.
Atas dasar inilah, pengarusutamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebaiknya tidak sekadar dipahami melalui “kaca mata kuda”. Fenomena penggunaan ritual adat, terutama ketika hukum belum berfungsi secara maksimal, meniscayakan digunakannya pendekatan antropologi hukum. Bagaimanapun, tidak semua peristiwa hukum bisa didekati dengan kaca mata yuridis-positivistis. Ada aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia yang harus dilihat melalui lensa sosial-budaya.
Pada dasarnya hukum memuat keberagaman dan pluralitas. Hukum tidak selamanya identik dengan kondisi masyarakat urban, melainkan juga orang-orang yang bermukim di wilayah pedalaman. Dalam konteks inilah, dikemukakannya antropologi hukum menemukan relevansinya. I Gede A. B. Wiranata (2011: 19) menyebutkan bahwa antropologi hukum membahas gejala pluralisme hukum dengan meneropong sejauh mana berlakunya hukum adat sebagai hukum yang hidup di satu sisi dan berjalannya hukum nasional di sisi lain dalam suatu negara.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar