Senin, 01 Oktober 2012

“Mbeling” dalam Puisi “Urakan” (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Senin, 1 Oktober 2012)


Judul: Suara-Suara yang Terpinggirkan
Editor: Heru Emka
Penerbit: Kelompok Studi Sastra Bianglala, Semarang
Tahun Terbit: Mei, 2012
Tebal: xxxii + 364
Harga: Rp. 65.000,-

"Puisi mbeling bangkit lagi!". Itulah pekik yang coba didengungkan para pengusung puisi mbeling seperti Remy Sylado, Heru Emka, Mustofa Bisri, Darmanto Jatman, Nugroho Suksmanto, Satmoko Budi Santoso, dan Yudhistira ANM Massardi. Kebangkitan puisi mbeling antara lain ditandai dengan terbitnya buku ini. Puisi yang tergolong renta karena berusia empat dasawarsa lebih tersebut siap menebar semangat para penyair yang menjunjung tinggi keberaturan dan konvensionalitas.
Puisi-puisi normatif, berkaidah, sekaligus baku disaingi dengan bertebarannya puisi mbeling yang terkesan nakal, nyeleneh, dan asal-asalan. Metafora yang disajikan pun terasa sangat berbeda, bahkan ganjil, dibanding puisipuisi pada umumnya. "Aliran" puisi yang lahir tahun 1972 tersebut, telah membuat karya sastra menjadi bacaan yang akrab dan dekat dengan rakyat, bukan lagi asupan segelintir elite kalangan sastrawan.
Istilah mbeling dipakai juga dalam konsep teater. Remy Sylado, pencetus puisi mbeling, menerangkan bahwa pilihan kata itu merupakan konsep perlawanan kultural yang sudah mapan sebagai reaksi WS Rendra melawan kemapanan dengan sikap "urakan" (halaman xviii). "Urakan" dalam bahasa Jawa berkonotasi negatif seperti tidak sopan, tidak tahu aturan, kurang ajar.
Maka, dipilihlah kata mbeling karena memunyai konotasi nakal, tapi pintar, bertanggung jawab, sopan, dan tahu aturan (halaman xix). Kesan asal-asalan pada puisi mbeling sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat. Kalau ditelisik lebih jauh, puisi jenis ini memuat pemikiran matang serta filosofi mendalam tentang kehidupan. Tidak sekadar main-main atau bahkan menertawakan kehidupan itu sendiri.
Jenis puisi ini menghidangkan alternatif yang tidak dimiliki jenis puisi lainnya. Contoh, puisi bertajuk Sajak Mabuk Zaman Edan (Ahmadun Yosi Herfanda): Tuhan, maafkan, aku mabuk lagi/dalam pusingan anggur peradaban/menggelepar ditindih bayang-bayang kekuasaan/seember tuak kebebasan mengguyurku/membantingku ke ujung kakimu/luka-luka kepalaku, luka-luka dadaku/luka-luka hati nuraniku// (halaman 41).
"Aku" dalam teks tadi mengalami luka berat di kepala, dada, dan hati nuraninya, meskipun telah dibangunsadarkan oleh "tuak kebebasan". Penggunaan tema "tuak kebebasan" merupakan upaya menetralisasi racun mematikan yang mengendap dalam "anggur peradaban". Puisi-puisi mbeling yang tersaji dalam buku ini masih identik dengan ciri-cirinya terdahulu untuk melawan corak puisi-puisi sebelumnya dengan bermodal diksi sederhana, mudah dicerna, terbuka bagi semua pembaca.
Puisi mbeling melawan arus estetika yang diamini khalayak penikmat sastra karena mendapat stempel dari kelompok penyair mapan. Imbasnya, timbullah gelombang pembaruan dalam bidang sastra, terutama menyangkut barometer estetika. Joko Pinurbo mampu mengawal puisi menjelma karya yang tidak hanya nakal, namun juga cerdas.
Dalam gurauannya bersama puisi, tersemat upaya yang sungguh-sungguh dalam memaknai kehidupan. Cara berpikirnya yang ketat turut membentuk puisinya menjadi berkarakter, unik, dan tidak cengeng. Lihat contoh berikut yang berjudul Kepada Uang: Uang, berilah aku rumah yang murah saja/yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku/yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku//Sabar ya, aku harus menabung dulu/menabung laparmu, menabung mimpimu/mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu//Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja/yang cukup hangat buat merawat encok-encokku/ yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku// (halaman 193).

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar