Senin, 18 November 2013

Penerbit Nakal, Penebar Sial (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 10 November 2013)

Menjauhi Bacaan Sesat
Menjamurnya penerbit akhir-akhir ini bak tumbuhnya cendawan di musim hujan. Dalam jagat literasi, di satu sisi, fenomena ini patut mendapat sambutan hangat sekaligus apresiasi yang setinggi-tingginya dari semua pihak. Namun, di sisi lain, juga perlu dicurigai, karena bisa jadi sebuah penerbit berdiri dilatarbelakangi adanya nafsu berburu keuntungan semata, sehingga perhatian terhadap muatan atau isi buku merupakan hal kesekian. Yang menjadi prioritas adalah bagaimana caranya agar buku bisa laku di pasaran, bak kacang rebus yang baru mendarat di pinggan. Hasrat pembaca untuk memperkaya diri dengan wacana serta mengunyah informasi berharga terpaksa dikesampingkan.
Ketika pembaca terlanjur mengunyah bacaan sesat, yang sering terjadi yaitu bukannya memperoleh pencerahan, melainkan justru terjerumus dalam kubang kegelapan. Sejumput rupiah yang keluar guna menebus harga bacaan kurang seimbang dengan hasil yang diketam. Imbasnya, kepuasan batiniah pembaca dalam memungut kepingan pengetahuan menjadi gersang, karena dicekoki dengan bacaan yang membodohkan.
Oleh karena itu, sebelum menyantap bacaan, dianjurkan bagi pembaca untuk mengenal sejauh mungkin profil penerbitnya. Tujuannya yaitu untuk menjauhkaan diri dari bacaan sesat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengkroscek kebenaran alamat penerbit yang biasanya tertera di bagian cover belakang atau di bagian dalam buku (cover dalam). Penerbit nakal punya seribu satu siasat dalam membuat alamat-alamat palsu lengkap dengan nomor jalan dan emailnya, sehingga pembaca bisa terkecoh karena mengira penerbit tadi berkredibilitas tinggi.  
Langkah lain yang perlu ditempuh yaitu mengetahui beberapa ciri buku-buku terbitan penerbit nakal, yaitu: terkesan ‘asal terbit’ karena kemasan kurang meyakinkan, penulisnya kurang dikenal di telinga masyarakat pembaca, daftar rujukan kurang terpercaya (kebanyakan diunduh dari internet), serta kertas yang dipakai kurang bermutu.   

Menghindari Penerbit Nakal
Selain menghadirkan bacaan sesat, ada juga penerbit yang gemar mengelabui penulis. Efek negatif yang ditimbulkan yaitu tingkat kepercayaan kepada penerbit tersebut menurun. Parahnya lagi, jika terus-menerus dibohongi, penulis memilih pensiun dini, gantung pena, lantaran merasa jera dan enggan lagi menitipkan karyanya ke penerbit.
Bagi penulis, munculnya penerbit jenis ini merupakan kabar buruk. Mengutip Johan Wahyudi (2011), hak penulis untuk mendapatkan dua versi laporan (pencetakan dan penjualan) secara periodik kerap kali dikorbankan demi segelintir kepentingan. Penerbit yang tergolong nakal lebih memilih untuk tidak mengirim laporan secara akuntabel kepada penulis dengan cara merancang data non-valid. Akibatnya, akuntabilitas laporan pencetakan dan penjualan buku kurang bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini berpengaruh terhadap jumlah royalti yang harus dikirim ke penulis. Boleh dikatakan, “semakin melenceng data yang dibuat, semakin kecil nilai royalti yang didapat”.
Pengingkaran janji juga menjadi momok menakutkan bagi penulis. Masih menurut Johan, memang sebelum buku diluncurkan, penerbit selalu menyodorkan SPK (Surat Penjanjian Kerjasama), yang memuat kewajiban-kewajiban penerbit kepada penulis. Namun, penerbit dapat dengan leluasa mengingkarinya. Faktor keculasan penerbit bisa bermacam-macam, antara lain jauhnya tempat tinggal penulis dengan penerbit. Hal ini dimanfaatkan penerbit guna melancarkan intrik, yang pada akhirnya menjadikan posisi penulis kian terjepit. Karena faktor  jarak tadi, sulit bagi penulis untuk melakukan complain terhadap perlakuan semena-mena penerbit. Adapun ketika penulis menggunakan alat komunikasi semisal HP atau telepon, penerbit bisa saja menyiasati, karena tidak berhadapan dengan penulis secara langsung.
Seorang teman penulis sampai pernah berkali-kali merasa ditipu, karena dideline pembayaran royalti selalu dilanggar. Dengan berbagai alasan, penerbit seenaknya membohongi penulis. Ada saja dalih yang digunakan dalam rangka menutupi kebusukannya, seperti terlambatnya laporan dari toko-toko buku yang menampung karyanya, juga pergantian karyawan—khususnya bagian keuangan.
Melihat fenomena di atas, sangat dianjurkan kepada para penulis untuk menanyakan kepada penulis yang lebih senior perihal mana saja penerbit yang benar-benar dapat dipercaya dan mana saja yang kerap berdusta.

Mengambil Langkah Alternatif
Dalam memilih bacaan, pembaca dituntut untuk selalu kritis dan selektif. Tentu bukan perkara ringan untuk melakukannya. Kepekaan dan naluri yang kuat memudahkan untuk menghindari bacaan sesat. Dengan demikian, bagi yang terbiasa menikmati buku dengan kategori tertentu, niscaya ia mampu mengatasinya. Sebagai misal, jika seseorang gandrung membaca buku pemikiran kontemporer, maka dengan sendirinya ia bisa membedakan mana buku yang berbobot, mana pula yang tidak.
Lantas bagaimana jika seseorang ingin mengeremus bacaan yang belum akrab baginya? Bertanya kepada si ahli adalah di antara secuplik kiat. Ahli yang dimaksud bisa berarti teman, keluarga, atau orang lain yang lebih mengerti tentang buku yang akan dibaca.
Sungguh pun demikian, sebenarnya terdapat langkah alternatif yang lain, yaitu dengan memilih penerbit yang sudah melambung namanya. Misalnya, pembaca memilih buku-buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang selama beberapa dasawarsa mampu menunjukkan taringnya dengan menerbitkan berbagai ragam buku berkualitas, mulai dari agama, psikologi, hukum, kesehatan, arsitektur, bahasa, biografi dan otobiografi, ekonomi dan bisnis, fotografi, keluarga, komputer, musik, pendidikan, sejarah, hingga teknologi.
Untuk pemikiran soshumbud (sosial, humaniora, budaya) pembaca direkomendasikan untuk memilih buku-buku Pustaka Pelajar yang, terbukti menjadi partner yang baik. Sedangkan untuk filsafat, penerbit Kanisius dan Jalasutra merupakan dua di antara penerbit yang konsen memberikan pengabdian bagi para pembaca.
Begitu pula dengan penulis yang hendak menerbitkan karya. Demi mencari ‘keselamatan’, meminang penerbit besar merupakan jalan yang tidak bisa ditawar. Semisal untuk karya sastra, penerbit Bentang adalah ahlinya. Selain dianggap memperhatikan ‘nasib’ penulis karena memberikan hak-haknya, penerbit ini juga sanggup mempertahankan kualitas. Penerbit Bentang dikenal mampu mengemas buku dengan tampilan menarik. Bukan hanya didukung oleh kecakapan para redaktur dan editor profesional, keahlian layouter juga dimanfaatkan. Sehingga penentuan warna cover, ukuran buku, maupun font tulisan benar-benar diperhatikan. Bagaimana pun juga, dalam konsep marketing, tampilan fisik turut menentukan laris-tidaknya buku. Tak ayal, sejumlah sastrawan besar genap mempercayakan naskahnya untuk digarap oleh penerbit ini. Misalnya Seno Gumira Ajidarma (“Trilogi Insiden”, 2010), Agus Noor (“Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”, 2010), Putu Wijaya (“Klop”, 2010), Dee/Dewi Lestari (“Madre”, 2011), juga Andrea Hirata (“Laskar Pelangi Song Book”, 2012).

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar