Sabtu, 09 Juli 2016

Bunga Terakhir Eropa (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Taman Fiksi" edisi Juli 2016)

Sesekali jam dinding yang tergantung di atas pintu dilirik dengan beberapa kedip. Genap dua jam ia hanya mematung, memandangi kain putih tulang yang terbentang empat puluh senti meter di depan hidungnya. Diteguknya lagi kopi hitam-pekat-kental yang dari tadi belum tandas. Adapun halilintar, tanpa ditemani hujan, menghunjamkan tombak lancipnya ke pepohonan, seakan menertawakan dirinya yang tengah dirundung gamang.
Dengan kuas mungil yang dipegangnya, ia mencoba menorehkan cat biru muda ke atas lahan kosong. Nafasnya kembang kempis. Dari sudut pelipisnya merembes keringat sebiji jagung. Ini kali ia tidak boleh keliru menempatkan warna. Lukisan wanita asal Eropa yang akan dikerjakan adalah pesanan sahabatnya, Kasim Mudrik. Jadi, sebisanya hasil goresan tangannya mendekati sempurna.  
Ia, pelukis berjari tangan sembilan itu, merasa ada yang lain ketika bermaksud untuk segera merampungkan lukisan. Jemarinya gemetaran, dadanya berdegup kencang, fokus perhatiannya tiba-tiba buyar ditelan keraguan. Padahal, agar konsentrasinya tidak terpecah, dua pesanan dari Jepara sengaja ia tolak mentah-mentah, meskipun si pemesan berani menebus keahliannya dengan ongkos di atas rata-rata: tiga kali lipat dari harga biasa.
Memperhatikan foto di telapak kirinya, lelaki bernama Kamaruddin Thabrani itu memainkan ludah sambil menelengkan kepala. Wow, sungguh wanita yang cantik lagi memesona!
Sepemakan sirih kemudian, kedua matanya memindai pot bunga di sudut kamar. Hal itulah yang rutin dilakukan guna meningkatkan daya konsentrasi. Namun, nampaknya ia gagal. Bukannya bentuk dan gambar burung merpati di pot yang ia dapatkan, malah bayangan Kasim Mudrik yang datang.
Mengaitkan geraham, ia tendang botol-botol cat di kolong meja seraya mengumpat sekenanya. Sungguh, ia tidak mungkin berjanji bahwa dua bulan lagi, ia akan menyerahkan sebuah lukisan kepada pemuda yang paling dekat dengannya. Pemuda yang menyelamatkannya dari amukan warga, juga mereka yang mengaku penjunjung tinggi ‘nasionalisme buta’.
***
Untuk makan saja, mati-matian Kamaruddin Thabrani mencari uang. Ia hijrah ke negara yang selama ini cuma mampir di telinga, demi memaksa lambungnya bertahan. Syukurlah, di rumah kontrakan baru, ia sanggup melanjutkan hidup. Kurang lebih tiga bulan lalu, Kasim Mudrik membawanya ke rumah kusam dengan dua kamar yang kecil. Di rumah itulah ia ingin melepaskan diri dari bantuan Kasim Mudrik. Terus terang, ia menanggung malu karena telah lama menumpang. Dan, di rumah itu pula ia akan meneruskan mata pencahariannya sebagai pelukis.
Tak habis pikir ia, mengapa alur kehidupannya dilalui dengan sulit. Melalui lukisannya, ia dianggap telah menghina tokoh ternama di Rusia, sehingga memaksanya kabur dari Malaysia. Adapun ia sendiri tidak mengenal profil yang ia abadikan di atas kanvas. Mengingat, ia cenderung lebih suka mengakrabi kuas dan botol cat ketimbang acara atau berita televisi yang baginya kurang bermanfaat.
Sebenarnya, ia hanyalah korban. Seorang wanita asing pernah memesan lukisan berukuran 1,5 x 2 meter bergambar lelaki berseragam militer, berkumis rancung, memakai baret merah yang ditembus sepasang tanduk. Dari giginya yang runcing menempel sekerat daging manusia dengan darah kental menetes deras. Jadi, sesiapa memandangnya, pastilah melanting kesimpulan bahwa itu adalah gambar tentara iblis sedang menikmati tumbal.  
Dipilihnya Indonesia sebagai loka pelarian. Keadaan yang kian menjepit, lantaran sejumlah interpol mengejarnya, membuat otaknya enggan menakar banyak pertimbangan. Meskipun demikian, dalam hati kecilnya, ia menabung keraguan. Teman sesama pelukis dulu bilang bahwa Soekarno, presiden Indonesia pertama yang sangat disegani di seluruh dunia, pernah memekik lantang: “ganyang Malaysia!”.
Tanpa perbekalan memadai, ia menunggangi pesawat bertarif murah, lalu mendarat di Jakarta. Kakaknya yang penyair memberi alamat seorang kenalan asal Indonesia.
Kasim Mudrik menampung pelukis malang itu di rumahnya. Awalnya, selama berbulan-bulan, tiada gangguan atau ancaman berarti. Bahkan, Kamaruddin Thabrani merasa cukup nyaman, sebab lelaki pekerja kebudayaan yang kerap terbang ke berbagai negara itu amat ramah. Ia dianggap seperti saudara kandung sendiri, sampai-sampai segala kebutuhannya tercukupi tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
Melalui jasa Kasim Mudrik, ia kembali menekuni pekerjaan yang genap mengantarnya menjadi buronan. Sesungguhnya, agak jera ia memulai lagi kegemarannya dulu menjelang senja: menuang dengan lembut berwarna-warni cat di wadah oval guna ditumpahkan ke kanvas. Akan tetapi, karena dorongan dan bujukan Kasim Mudrik, kepercayaan dirinya memulih. Apalagi, dengan bakat melukis, ia berniat memungut rupiah. Tujuannya, agar lambat laun, ia sanggup mandiri dan meringankan beban Kasim Mudrik. Syukur-syukur, bisa membalas segenap jasanya.
Berkat lelaki berumur tiga puluhan tahun berwajah tirus itu, ia memperoleh pesanan lukisan dari sejumlah pejabat dan pengusaha. Semangatnya bermekaran bak bunga melati di kebun Bu Johar (tetangga Kasim Mudrik yang memiliki hobi memelihara bunga). Untuk sementara, ia boleh melupakan bahwa dirinya seorang penjahat, yang sedang diburu di tanah kelahirannya. Hingga suatu hari, ketika kata ‘aman’ masih tersimpan rapi dalam brangkas kepalanya, sekonyong-konyong ia dikeroyok oleh orang-orang tak dikenal sehabis membeli peralatan lukis di pasar. Ia tidak tahu persis alasan kenapa jadi bulan-bulanan. Yang pasti, malam hari sebelum kejadian adalah malam di mana Indonesia ditekuk 3-0 oleh Malaysia dalam pertandingan sepakbola. Wajahnya pasti bonyok, tulang-belulangnya remuk, darahnya muncrat di sana-sini, jikalau tak berhasil meloloskan diri. Untungnya, ketika ada celah sedikit, ia menggunakannya dengan baik. Karena bertubuh kerempeng, ia berlari gesit, lalu sampai di rumah Kasim Mudrik dengan selamat. Meskipun demikian, jari kelingking kirinya harus diamputasi, setelah menerima gencetan keras dari lelaki berkaos klub sepakbola asal Jakarta—yang ikut mengeroyoknya secara membabibuta.  
Kamaruddin Thabrani menceritakan pengalaman pahitnya dengan mata berkaca-kaca. Lututnya menggigil, ketika mengatakan bahwa jarak antara kematian dengan dirinya begitu dekat. Bermacam-macam benda—apa saja—mudah dimanfaatkan guna mencungkil nyawanya; tongkat, batu, palu, pecahan kaca, tabung elpiji, atau kunci inggris sekalipun. Andaisaja ia memilih diam waktu dihakimi oleh kira-kira lima belas orang, barang tentu ia sudah berbaring di kuburan.
Jangkap menyimak kisahnya, Kasim Mudrik mengambil keputusan: mencarikan tempat baru yang dapat menjauhkan aroma tubuh Kamaruddin Thabrani dari penciuman para pemangsa.
***
Senyumnya mengembang, saat memindai lukisan. Berkali-kali menyentuh kulit kanvas yang telah dipadukan dengan berbagai warna itu, membuatnya terkagum-kagum; bercecap-cecap lidah sambil mengulum ujung jakun. Di antara ratusan karya yang dilahirkan, baru lukisan inilah yang benar-benar membuatnya puas. Ia banyak berterima kasih kepada Tuhan, sebab doa yang menyembul dari katup mulutnya selepas sembahyang lima waktu dikabulkan: mampu merampungkan pesanan dalam tenggat dua bulan. Sungguh, ia tidak mau, hanya gara-gara gagal menyelesaikan, atau mengalami sedikit keterlambatan, hubungan antara dirinya dengan Kasim Mudrik merenggang.  
Lukisan wanita cantik berambut pirang sebahu bernama Martina Stella itu dipajang dengan gagah. Kamaruddin Thabrani bermaksud meletakkan kedudukannya sedikit lebih tinggi di atas karya-karya lainnya. Tiap kali menatap tajam lukisan itu, otaknya langsung memutar kata-kata Kasim Mudrik di suatu sore yang mendung, “Kau tahu, sahabatku? Ialah satu-satunya wanita yang memaksa dinding jantungku bergetar, ketika pertama kali menemukan wajahnya. Ialah wanita yang mampu membelai perasaanku, waktu bercakap-cakap dengannya. Ialah wanita yang kukenal di Amerika, ketika kami sama-sama menghadiri undangan perhelatan budaya seluruh dunia. Ialah wanita yang setengah mati kucintai, tapi tidak bisa kumiliki.”
Ketika itu pula, dua pipi Kamaruddin Thabrani dibanjiri air mata. Betapa antara keduanya, ia dan Kasim Mudrik, terbentang kenangan yang saling bertautan. Kenangan yang terlalu pahit dan getir untuk disimpan di ceruk hati terdalam. Kenangan tentang bagaimana lelaki harus memendam perasaan sebab terpenggal janji untuk menikah dengan wanita pribumi, juga kenangan bagaimana lelaki harus mengubur dendam dalam-dalam karena terasing di negeri orang.
***
Pagi bertudung embun, Kasim Mudrik menerima lukisan terbungkus kain beludru hijau menyala yang diantar oleh seorang kurir. Hati-hati sekali rupanya ia ketika membuka lukisan yang hendak dipampang di ruang tamunya itu.
Sedikit demi sedikit, ia menyibak lukisan persembahan karibnya. Kau bakal menjadi kenangan terakhir sebelum aku melangsungkan pernikahan dengan anak wali kota. Begitulah batinnya berdesis. Lantas melihat di bagian bawahnya tertulis “Bunga Terakhir Eropa”, bibirnya menyungging. O, alangkah tepatnya sang pelukis menancapkan judul pada karyanya!
Raut muka yang mulanya cerah, tiba-tiba berganti muram. Hamparan keningnya dipadati gumpalan awan hitam, saat menelanjangi lukisan berbingkai kayu jati bersepuh warna emas itu. Di depannya berdiri sosok wanita Eropa cantik dengan pistol berasap di genggaman tangan kanan. Seolah puas menembak orang yang paling dibenci, wanita dalam lukisan tersebut terlihat jauh dari kata ‘anggun’. Bahkan, terkesan garang. Pun lebih pantas dipanggil si jalang, daripada disebut wanita pemegang teguh nilai-nilai moral dan kesopanan.
Kini, Kasim Mudrik barulah mengerti bahwa wanita asing yang menyebabkan karibnya mengunyah penderitaan luar biasa dan hidup terlunta-lunta adalah Martina Stella, yang selesai dilukis begitu sempurna.


Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar