Jumat, 15 Juli 2016

Hikayat Sang Teroris (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Jumat, 15 Juli 2016)

Senja hampir turun. Wajah cakrawala di barat kampung Sidodadi bersiap-siap bersalin. Kuning keemasan yang tadinya terlihat cerah akan segera didominasi warna merah. Namun, beratus santriputra dan putrimasih tampak asyik mencerap kalam dan wejangan sang kiai.
Kala itu, Kiai Mutohar tengah membacakan al-Hikam; sebiji kitab yang menjadi referensi utama dan bacaan wajib mayoritas pesantren di provinsi Kawukay. Lelaki berjanggut tebal dengan sejumlah kerut di wajah itu amat betah menularkan ilmu kepada para santri. Begitulah. Dalam sekali duduk, ia sanggup menghibahkan petuah-petuah agama hingga lima jam.
Sederhana. Berwibawa. Bijak. Lembut. Itulah di antara beberapa potong sifat Kiai Mutohar yang dihafal santri-santrinya. Dalam membagikan keterangan, kiai yang satu ini dikenal luwes dan tidak muluk-muluk, sehingga enteng dicerna. Terlebih, ia juga doyan membubuhkan contoh. Baginya, penjelasan tanpa dilampiri contoh, bak sayuran tanpa garam. Dan menyinggung tentang contoh, Kiai Mutohar tak akan lalai mengeja nama Sahri. Ya, putra semata wayang yang benar-benar disayanginya. Demikian juga pada malam Senin ketika mendaras kitab Riyadlu as-Shalihin di aula, saat beradu kening dengan sekitar seribu orang yang berasal dari enam kampung.
Pantas, kalau kiai dengan tahi lalat yang menumpang di hidung itu, selalu meruah namanya. Memang Sahri termuat mahasiswa berprestasi. Ia juga kenyang mengantongi nilai cantik dan beraneka kejuaraan sejak melungguh di bangku sekolah. Kecerdasannya terbilang di atas rata-rata teman-temannya. Tak heran jika ia berpuluh kali menjadi delegasi dalam olimpiade tingkat nasional. Yang terakhir di Barsupu, ia menggondol juara pertama dalam bidang matematika.
***
Bosan meneguk liburan panjang, suatu pagi, Sahri menggelesot di depan kamar sang ayah, yang tengah merapal ratib al-haddad di hamparan sajadah. Ia hendak berpamitan, karena esoknya kupingnya kembali dijejali ceramah dosen.
Selepas wirid, Kiai Mutohar menemui Sahri. Bibirnya menyungging. Memirsa putranya, kebanggaan dan kebahagiaan merembes di dada. Sang kiai memasang rencana; kelak, bila masa studi rampung, putranya itu yang bakal mengambil alih posisinya.
Dan seperti biasa, sebelum Sahri beranjak, terlebih dulu Kiai Mutohar tengadahkan kedua tangan untuk mendoakan darah dagingnya. Lantas diiringi lambaian tangan Bu Nyai, Sahri bertolak bersama Azali, santri ndalem, yang kebetulan hendak kulakan kitab kuning di Mangal, sekeping kota yang berdempetan dengan Rusabaha.  
Jarak dua bulan dari keberangkatan, beberapa gelintir orang—saat membuka-buka koran di warung Mbok Jah—memetik kabar mengejutkan; Sahri digelandang polisi saat bertransaksi sabu-sabu di sebuah hotel. Mereka tidak lantas percaya; Sahri adalah bibit kiai yang amat dita’zimkan semua orang. Apalagi ia juga dikenang pendiam dan tak jamak tingkah. Karena kurang yakin dengan kabar miring tersebut, Bu Kusmiah langsung bersoal kepada Bu Nyai.
“Ah, mungkin Sahri yang lain, Bu. Nama Sahri kan banyak”
Bu Nyai mencoba melempar penjelasan. Bukannya berkilah, namun berita terciduknya Sahri memang belum berlabuh di liang telinganya.
Dan, alangkah terperanjatnya Bu Nyai, tatkala Kiai Mutohar muncul dari balik selambu dengan menenteng koran yang mengandung kabar memalukan tersebut. Sesaat usai membacanya, leher Bu Nyai kaku, lisannya kelu, pandangannya menerawang. Dalam batinnya, teronggok tanda tanya besar; bagaimana masa depan putranya kelak. Selain ditundung dari kampus, pasti masyarakat juga enggan menadah kehadirannya.
***
Bagai menudungi bangkai busuk, Kiai Mutohar dan Bu Nyai merahasiakan kabar tertangkapnya Sahri. Sampai-sampai, saat Sahri mendengkur di hotel prodeo, Kiai Mutohar sama sekali tak menyambangi. Selain khawatir terpergok orang, ia sangat wirang dengan apa yang telah diperbuat putranya. Nama agungnya tercoreng. Kewibawaannya merosot drastis. Predikat munafik juga sedang gencar-gencarnya menguber. Sebab, dalam pengajian, tak henti-hentinya ia menantang para jamaah agar merenggangkan diri dan keluarga dari perbuatan yang dilarang Tuhan.
Sedang Bu Nyai, ia lebih leluasa menengok Sahri. Ini mengingat bahwa warga dan orang luar lebih mengenal Kiai Mutohar dari pada istrinya. Meski demikian, naluri kemanusiaan dan keayahan masih mengendap di otak Kiai Mutohar. Sesekali ia titipkan uang sekadar bila Bu Nyai hendak berkunjung.
Sebenarnya antara tega dan tidak, Kiai Mutohar memperlakukan putranya seperti itu. Sebagai orang tua, hatinya selalu galau dan ingin bertatap muka dengan bujangnya. Apalagi Sahri terlahir selagi usia Bu Nyai sudah berkepala empat dan sulit menitiskan keturunan. Akan tetapi, lagi-lagi, rasa malunya sebagai kiai kampung dan pengasuh pesantren lebih besar.  
Dan ternyata, di luar dugaan, rasa sayang sebagai ayah ditunjukkan dengan cara lain. Rasa sayang, yang bagi tokoh sepertinya, lebih baik dikorbankan. Ya, dikorbankan. Setelah berembuk dengan kepala LP Gumahuk, keduanya mufakat, bahwa Sahri akan lolos jika dicawiskan sogokan uang. Tentu dengan nominal yang lumayan tinggi.
Kiai Mutohar kelimpungan. Stres. Batang-batang rokok makin deras menggantung di bibir tebalnya. Sungguh, sebelumnya ia tak berpikir masalahnya akan sepelik itu. Dalam benaknya, polisi yang berpunca dari kampung Sukorejo dan pernah aktif menimbrung di pengajiannya itu bakal membebaskan Sahri tanpa syarat.
Ke manakah ia akan mendapat uang? Padahal, sarwa simpanan di bank terlanjur dicemplungkan buat biaya perluasan aula dan toilet pesantren. Apalagi dalam kamusnya, ia urung mengutang. Karena utang hanya akan menambah bobot pikiran.
Dan, alhasil, dalam hitungan hari, Kiai Mutohar dengan mudah menjumpai tumpukan uang di sebuah loka. Tak jauh-jauh. Bahkan, sangat dekat sekali. Hanya dengan mengayunkan kaki sepuluh meter dari pelataran rumah. Ya, benar. Tempat yang dimaksud yaitu kantor Panitia Renovasi Pesantren (PRP). Di sanalah ia bisa menemukan uang sejumlah empat puluh juta rupiah. Akhirnya, arta sumbangan wali santri untuk membangun gedung baru itu digasak, tanpa seizin dan sepengetahuan panita.
“Mudah-mudahan ini termasuk dalam kaidah: ad-dlaruuratu tubiihu al-mahdzuuraat
Katup rahang sang kiai mendesis pelan, kala mewadahi segebok uang ke dalam karung bekas.
***
Warta tercekalnya Sahri cukup gesit meruap ke hidung warga. Akan tetapi, Kiai Mutohar dan Bu Nyai cuci tangan, seolah tidak terjadi apa-apa.
Apa yang dilakukan oleh santri dan jamaah Kiai Mutohar? Mengendus urita kurang sedap, sekitar dua puluh santri hengkang dari pesantren. Bukan lantaran tak percaya lagi kepada sang kiai. Namun lebih karena dorongan orang tua yang jengah menitipkan anak kepada kiai dengan putra bermasalah.
Pengajian yang lazimnya dihadiri seribu orang itu juga terhantam imbas. Dua minggu pasca kabar itu berhembus, majelis yang biasanya mengupas hadits-hadits Nabi tersebut hanya diikuti lima ratus orang. Adapun separuh yang lain memilih absen dengan berbagai bentuk alasan. Yang sakitlah. Yang sibuklah. Yang keluar kotalah. Yang sebentar lagi matilah.  
Umumnya, santri dan jamaah yang bertahan, menganggap hal itu sebagai cobaan yang harus dihadapi manusia sekaliber Kiai Mutohar. Semakin tinggi pohon, semakin besar pula angin yang menerjang. Mereka juga maklum. Sebagai makhluk biasa, pastilah Sahri menyandang kekurangan.
***
Kembali mereguk udara bebas, bukannya meredakan ulah. Tiga bulan kemudian, Sahri terlibat lagi dalam penjualan narkoba. Malah, ia selaku pemasok utama bagi pelanggan kafe-kafe mewah di Rusabaha. Keberuntungan ringan dijinakkan. Jadi, beberapa bulan ia selamat. Ulahnya belum terendus aparat.
Dalam tempo itu pula, Sahri menyempatkan pulang. Malam menjadi satu-satunya pilihan. Hal ini dikarenakan, bila ia pulang pada siang hari, pasti warga bakal mengusirnya dari kampung. Dan saat fajar belum genap luntur, ia segera balik ke Rusabaha. Begitulah cara paling aman buat sekadar bertembung dengan ayah dan ibunya.
Semasih mencongkong di rumah, di satu sisi, lidahnya bisa tersenyum tipis tatkala menikmati terong bakar dan urap-urap bayam buatan sang bunda. Walakin, di sisi lain, dua kupingnya harus tebal, ketika Kiai Mutohar bertukas-tukas membuang ancaman:
“Jika menyentuh narkoba lagi, maka aku tak sudi mengakuimu sebagai anak.”
Sebetulnya, Kiai Mutohar dikenal dengan sosok yang sabar dan santun. Namun, selagi menghadapi Sahri, ia sulit mengendalikan diri. Emosinya meletup-letup. Sehingga tak jarang, kemarahan yang dilampiaskan kepada Sahri, terdengar juga oleh santri-santrinya.
***
Seperti keledai yang terjebak di lubang yang sama; untuk kedua kalinya, Sahri tertangkap basah, saat bertransaksi narkoba di kafe Mutiara. Ia sial. Apes. Rengsa. Ternyata mangsanya adalah polisi yang berperan menjadi konsumen. Ini kali kasusnya lebih besar, sebab ia memapah 2 kilo gram sabu-sabu.
Selincah kilat, berita tersebut terbang. Terbang ke berbagai sudut dan ruang yang terbentang di kampung Sidodadi. Terbang dengan sayap media elektronik maupun koran. Dan setangkas kilat pula, kepercayaan para warga kepada sang kiai luntur. Hilang. Hangus. Sehingga menyebabkan seluruh santri berbondong-bondong minggat dari pesantren. Sedang pengajian mingguan di aula bubar. Para jamaah kabur tunggang-langgang. Hal ini diperparah dengan ucapan Muhsin, ketua Panitia Rehabilitasi Pesantren (PRP), yang mencetuskan bahwa arta sumbangan raib diganyang kiai. Dan semua sepakat, karena Kiai Mutoharlah satu-satunya pembawa kunci lemari yang digunakan menampung dana pembangunan.   
Semalam, sekitar jam sembilan, rumah dan pesantrennya dibakar pemuda-pemuda kampung. Jasad Kiai Mutohar beserta istrinya ikut terlalap. Sekarang keduanya tergolek di Unit Gawat Darurat rumah sakit Bemesda. Rasanya, keduanya musykil bertahan lama. Serata tubuh tergigit api raksasa yang meluap-luap.
Di mana Sahri? Ia tengah duduk di kursi pesakitan, di depan hakim yang bersiap memutuskan berapa tahun ia bakal mendekam di penjara. Atau bahkan, boleh jadi hukuman mati sedang menanti. Selain pengedar dan penjual narkoba, ia juga terbukti menjadi pendana bagi beberapa aksi pengeboman di dalam maupun luar negeri.

Yogyakarta, 2011

Catatan:
·         Ratib al-haddad = Dzikir-dzikir nabawiyyah yang disusun oleh Habib Abdullah al-Haddad.
·         Santri ndalem = Santri yang mengabdikan diri pada kiainya.
·    Ad-dlaruuratu tubiihu al-mahdzuuraat = Kaidah fiqih yang berarti, hal darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang (dalam agama).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar