Minggu, 31 Juli 2016

Pengaruh Kiai Jawa (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Radar Surabaya" edisi Minggu, 31 Juli 2016)

Di kawasan pedesaan Jawa, sebutan kiai biasanya melekat pada diri seseorang dengan “darah religius”. Tak heran jika anak atau cucu kiai, ketika sudah waktunya, juga menjadi seorang kiai. Identitas ini kerap diwariskan lantaran orang Jawa berpegang teguh pada peribahasa kacang ora ninggal lanjaran.
Kiai memiliki pengaruh yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kekuasaan kiai berasal dari pribadinya (personal power). Dalam kehidupan desa, kekuasaan ini benar-benar diakui. Ketokohan kiai mendapat afirmasi dari masyarakat. Munculnya simpati terhadap kiai lebih karena apa yang ada dalam diri kiai. Dengan demikian, kehormatan, kemuliaan, dan kewibawaan kiai muncul dari dalam dirinya. Meskipun demikian, di beberapa tempat, besarnya pengaruh kiai tidak sama. Barang tentu, antara desa yang satu dengan desa lainnya, kekuasaan para kiai dalam kadar yang berbeda.
Dahulu kala, kiai memiliki banyak peran dan fungsi dalam kehidupan desa-desa Jawa. Kiai memosisikan diri dalam bidang agama, sosial, ekonomi, budaya, serta politik. Kiai dianggap berilmu luas sehingga mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan. Pengetahuan dan kharisma yang dimiliki kiai menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadapnya. Tak heran, jika selain memberikan pedoman kepada masyarakat dalam pelaksanaan ibadah dan ritual keagamaan, kiai juga dipercaya sanggup membantu menyelesaikan persoalan sehari-hari.

Posisi Sentral
Beberapa studi sosial mengenai pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan Clifford Geertz, menyimpulkan bahwa kiai adalah tokoh dengan posisi strategis dan sentral dalam masyarakat. Sebab memegang kepemimpinan informal, kiai diyakini penduduk desa memiliki otoritas yang sangat besar sekaligus kharismatik. Mayoritas kiai di Jawa menganggap pesantren ibarat kerajaan kecil. Adapun kiai merupakan sumber kekuasaan dan kewenangan dalam lingkungan pesantren (Hamdi, 2014: 66).
Namun demikian, belakangan, fungsi kiai sering diambil alih oleh pakar sosial, politikus, dokter, budayawan, serta ahli ekonomi. Ini berarti, kepercayaan terhadap kiai sebagai pemimpin umat semakin menurun. Merosotnya simpati masyarakat terhadap kiai berlatar belakang bahwa orang desa kerap menghindarkan diri dari sikap “patuh membabibuta” kepada kiai. Mereka mulai mampu berpikir logis dan rasional.
Ini berarti, peran dan tugas kiai semakin ringan. Kedewasaan berpikir membuat penduduk desa dapat memutuskan urusan pribadi. Apa yang mampu mereka tangani tidak perlu ditanyakan kepada kiai. Mereka sudah bisa membedakan mana urusan yang harus diatasi sendiri dan mana yang layak dikonsultasikan dengan kiai. Kepercayaan mereka terhadap kiai kian memudar seiring tersebarnya informasi dan pengetahuan, baik dari buku, koran, majalah, televisi, radio, atau internet.
Sudah banyak penduduk desa-desa Jawa melek teknologi. Kemampuan ini mereka gunakan untuk berselancar di dunia maya. Pertanyaan-pertanyaan yang semula dilemparkan kepada kiai, kini beralih ke internet. Gelar sarjana yang diraih pemuda-pemuda desa juga membuat mereka enggan “berpangku tangan” kepada kiai. Kurikulum dari perguruan tinggi membentuk mereka lebih mandiri dalam menentukan sikap.

Lunturnya Sakralitas
Feodalisme kiai sedikit demi sedikit runtuh oleh sikap kritis orang desa. Sakralitas kiai luntur seiring dengan kedewasaan masyarakat Jawa. Ditambah lagi dengan fakta bahwa nama kiai tercoreng lantaran ulah beberapa oknum. Beberapa kiai di sejumlah desa Jawa memanfaatkan kehormatannya untuk berbuat asusila, menarik uang partai, atau berbohong demi kepentingan pribadi. Di antara mereka bahkan dijebloskan dalam jeruji besi, sebab terlibat persekongkolan atau tindakan lancung dan culas yang menodai perasaan umat. Melihat para kiai bertipe demikian, masyarakat memilih untuk “mencabut” kepercayaan yang terlanjur melekat pada diri kiai.
Sebagai akibatnya, muncul pembatasan terhadap tugas kiai selaku pengemban amanat agama. Para kiai merepresentasikan elit keagamaan yang berperan membentuk masyarakat yang religius (Moesa, 2007: 1). Kini, orang desa lebih selektif dalam menentukan siapa yang pantas disebut kiai. Di samping sepak terjang calon kiai, terutama dalam masalah agama, background diri dan pendidikannya juga turut mengukuhkan alasan mengapa masyarakat menyerahkan urusan agama kepadanya.
Di desa-desa Jawa, rata-rata kiai merupakan lulusan pondok pesantren tradisional atau modern. Sukar ditemukan kiai berijazah SMP, SMA, atau kampus umum, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa mereka yang mengenyam bangku “sekolah umum” juga dapat menjadi kiai. Ketentuan di atas berimbas pada rendahnya pengaruh kiai, di mana kekuasaannya terutama diperoleh dari masyarakat.

Bojonegoro, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar